Sebelum Akhir Jabatan, Bamsoet Kejar Target Amendemen UUD ’45
Komline, Jakarta- Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo mengaku mengejar target untuk merampungkan amendemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945 sebelum akhir masa jabatan pada 2024.
“Harapan saya di akhir jabatan nanti hasilnya bukan rekomendasi untuk periode yang akan datang,” kata dia, yang akrab disapa Bamsoet itu, kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (11/10).
Pihaknya akan memastikan bahwa amendemen UUD 1945 hanya akan dilakukan untuk memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN).
Ia pun mengklaim PPHN tidak dimaksudkan untuk memperlemah sistem presidensial atau pun mengurangi ruang dan kewenangan pemerintah untuk menyusun cetak biru pembangunan.
Bamsoet menilai substansi PPHN hanya mengatur hal-hal yang bersifat filosofis dan turunan pertama dari UUD 1945.
“PPHN justru akan tetap disesuaikan dan memperkuat sistem presidensial dimana presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, serta presiden dan wakil presiden memiliki masa jabatan yang tetap dan tidak dapat dijatuhkan hanya karena alasan politik,” dalihnya.
Menurutnya, pimpinan MPR akan segera bersilaturahmi dengan pimpinan partai politik serta tokoh agama untuk memastikan tidak ada penumpang gelap yang memanfaatkan amendemen UUD 1945 untuk kepentingan politik praktis.
Hal itu, katanya, dilakukan setelah Badan Pengkajian MPR menyelesaikan kajian soal amendemen.
“Tinggal berkunjung lagi menyampaikan hasil badan kajian. Ketika awal berkunjung menyampaikan langkah-langkah yang akan kami kerjakan. Sekarang menunggu hasil Badan Pengkajian MPR, nanti berkunjung lagi ke pimpinan partai politik, termasuk pimpinan keagamaan,” ujar dia, yang juga menjabat Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu.
Amendemen UUD 1945 merupakan wacana yang kembali digaungkan Bamsoet dan mendapatkan respons positif dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Sidang Tahunan MPR pada 16 Agustus 2021 lalu.
Namun, wacana itu mendapatkan sorotan tajam publik karena diduga akan mengubah masa jabatan maksimal presiden dari dua menjadi tiga periode.
“Akan ada potensi bola salju kepentingan di mana bola salju itu menggelinding dan membesar dan itu bisa masuk ke kepentingan kepentingan politik jangka pendek yang tidak baik bagi ketatanegaraan bagi kita. Seperti isu periode ketiga, pemilihan presiden melalui MPR,” ucap pakar hukum tata negara Fery Amsari, Senin (16/8).