Berita Tokoh

Susno Duadji : Mengapa Politik Dinasti Tidak Boleh?, Begini Penjelasannya

google.com, pub-5445025501323118, DIRECT, f08c47fec0942fa0

Komeringonline – Palembang , Selasa 21 Nopember 2017,

Sebentar lagi Pilkada serentak 2018 segera dilaksanakan, saat ini temperatur politik daerah sedang mengalami peningkatan, photo, poster dan tagline mulai dapat ditemukan di mana-mana , walapun belum waktunya tahapan kampanye namun faktanya baik terselubung maupun terang-terangkan kampanye sudah dimulai melalui berbagai media dan cara.

Terlepas dari kampanye ditengah maraknya politik daerah menjelang Pilkada 2018, timbul berbagai pendapat tentang Politik Dinasti, pantaskah seorang anak, keponakan, adik, atau isteri yang ada hubungan gafis lurus ke atas, ke bawah, atau kesamping dengan petahana untuk mencalonkan diri pada Pilkada guna menggantikan jabatan Petahana ?

Diskusi Politik Dinasti sering terdengar baik dalam forum resmi, forum tidak resmi maupun diskusi di warung kopi, memang berbagai sudut pandang pendapat tentang politik dinasti bermunculan, endingnya tiada kesimpulan, tergantung dari mana kita memandangnya.

Ada baiknya kita baca, simak dan renungkan tulisan Bpk Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI , pada kolom
opini www.mediaindonesia.com , Kamis, tanggal 9 July 2015 dengan judul :

MK Dukung Kukuhnya Dinasti Politik?

Kamis, 9 July 2015 00:00 WIB
Penulis: Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI.

Pata Areadi

KEPUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 7 huruf r UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terkait syarat yang melarang bakal calon kepala daerah memiliki hubungan darah atau perkawinan dengan petahana, telah menimbulkan pro dan kontra.

Dalam memutuskan perkara Nomor 33/PUU-XII/2015 tersebut, para hakim berpendapat bahwa Pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan Pasal 28 J ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Bagi mereka yang pro, seperti Wakil Ketua DPR RI dari Partai Gerindra Fadli Zon, konstitusi negara tidak melarang adanya dinasti. Namun, bagi mereka yang kontrakeputusan MK tersebut, alasan yang patut dikemukakan ialah sejak awal para founding fathers (bapak-bapak pendiri bangsa Indonesia) mencanangkan bahwa negara yang akan dibangun adalah negara kesatuan yang berbentuk republik! Itu berarti mereka sudah melihat jauh ke depan bahwa negara Indonesia modern berbentuk republik dan bukan kerajaan atau sistem dinasti!
Ini juga bisa ditambahkan bahwa para pendiri bangsa juga mendalilkan, “Kedaulatan di tangan Rakyat”, bukan di tangan para despot, raja, atau penguasa yang otoriter.

Artinya, mereka sudah memilih jalan demokrasi sebagai suatu sistem yang dianut oleh bangsa ini dan bukan daulat penguasa atau raja.

Pertanyaannya, apakah benar pasal yang dianulir tersebut bertentangan dengan konstitusi?

Pasal 28 J ayat (2) UUD NRI 1945 berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang.

Dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Jika kita cermati dengan baik pasal tersebut, tampak jelas bahwa, “Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang….” Ini berarti Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 ingin membatasi mengenai orang yang boleh menjadi calon di dalam pemilihan kepala daerah agar tidak terjadi sistem dinasti di negara Republik Indonesia yang sudah menerapkan sistem demokrasi.

Pembatasan yang dibuat UU tersebut pada asarnya demi keadilan sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Undang-undang tidak me-larang seorang istri, anak, atau seseorang yang memiliki hubungan darah dengan seorang petahana (seorang yang sedang berkuasa) untuk maju menjadi calon gubernur, bupati atau wali kota asalkan ada jeda satu kali masa jabat-an, yaitu lima tahun.

Aturan ini dibuat atas dasar asas keadilan agar semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk menduduki jabat-an publik melalui pemilihan umum.

Argumen politik yang luhur
Argumen luhur dari perancang undang-undang tersebut ialah, jika seorang istri atau anak mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, atau wali kota langsung setelah ayah atau suaminya menduduki jabatan yang sama, akan terjadi penggunaan kekuasaan dan otoritas kepala daerah secara salah (abuse of power). Seorang kepala daerah tentunya akan menggunakan otoritas politik dan pengaruh kekuasaannya agar istri, anak, atau menantunya mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, wali kota seperti yang dijabat oleh ayah/suami/mertuanya.

Ini tentunya akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat dan tidak seimbang di antara para kandidat kepala daerah.

Sistem dinasti absolut hanya ada di dalam sistem kerajaan.
Sementara di dalam sistem demokrasi, tidak ada larangan seorang anak atau istri untuk maju menjadi calon pejabat seperti yang diduduki orangtua atau suaminya asalkan mengikuti kaidah-kaidah hukum dan moral politik yang berlaku di negara tersebut.

Di negara demokrasi seperti Amerika Serikat, dinastiisme juga terjadi. Namun, itu sesuai dengan aturan hukum dan moral.

Presiden George Bush, misalnya, memiliki anak yang pernah menduduki jabatan gubernur di dua negara bagian yang berbeda, seorang di antaranya kemudian menjadi presiden, yakni George W Bush.
Di Singapura, bapak pendiri Singapura, Lee Kuan Yew, juga mendidik anaknya untuk menjadi calon pemimpin. Awalnya masuk ke dunia militer, kemudian magang di bawah didikan PM Goh Chok Tong dan baru menjadi perdana menteri.
Di Pakistan, anak dari presiden juga suatu saat dapat menjadi calon presiden dan terpilih menjadi presiden seperti yang terjadi pada mendiang Benazir Bhutto yang anak dari Presiden Zulfikar Al Bhutto. Dua-duanya tewas akibat pembunuhan politik.
Di India, keluarga keturunan Perdana Menteri Nehru juga terjun ke politik. Secara berturut-turut dari Nehru ke putrinya, Indira Gandhi, dan kemudian ke Rajiv Gandhi. Indira dan Rajiv juga tewas karena pembunuhan politik yang terkait dengan perjuang-an orang Sikh di Sri Lanka. Indira tewas ditembak pe-ngawal pribadinya yang orang Sikh, sementara Rajiv tewas akibat bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang perempuan anggota pasukan khusus gerilyawan Macan Tamil.

Mencegah dampak buruk dinasti
Pembatasan yang dilakukan melalui undang-undang pemilihan kepala daerah dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri era Gamawan Fauzi sebagai cara untuk mencegah dampak buruk dari semakin berkembangnya dinastiisme di beberapa daerah di Indonesia, seperti yang terjadi di Provinsi Banten dan berbagai daerah lainnya di Indonesia.

Sistem dinasti ini melahirkan budaya politik dan kontestasi politik yang tidak sehat di berbagai daerah. Dinasti juga melahirkan mengguritanya jaring-jaring kekuasaan yang syarat dengan penyalahgunaan wewenang seorang kepala dae-rah. Apa yang terjadi di Banten dan Sampang, Madura, adalah sedikit contoh bagaimana korupsi juga lekat dengan penyalahgunaan kekuasaan.

Kita semua sepakat bahwa semua warga negara Indonesia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kita semua memiliki hak yang sama di hadapan hukum untuk boleh mengikuti pemilihan umum, termasuk, tetapi tidak terbatas pada, pemilihan kepala daerah.

Demi asas keadilan dan kesetaraan itu pula Mendagri Gamawan Fauzi saat itu mencanangkan agar ada aturan mengenai tata cara pencalonan kepala daerah yang anggota keluarga atau kerabat dekatnya dalam keluarga batih sedang memasuki masa bakti terakhirnya sebagai kepala daerah. Jika pasal tersebut dicabut, berarti kontestasi politik yang akan terjadi pada pilkada 9 Desember 2015 akan tidak seimbang, dan tidak memberikan keadilan bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan politik.

Kadang kita bertanya mengapa tidak ada alur pikir yang linier antara keputusan hukum dan politik.

Contohnya, mengapa Rano Karno saat ini masih menjabat sebagai pelaksana tugas gubernur Banten, sementara sang Gubernur Ratu Atut Chosiyah sudah memiliki keputusan hukum tetap sebagai narapidana. Apakah ini karena dinasti Atut begitu kuat sehingga ia tidak dapat diganti?

Kita juga mungkin bertanya, tidakkah lebih baik jika MK tidak melulu diduduki oleh para ahli hukum, melainkan juga ahli politik dan filsafat sosial.
Agar keputusannya benar-benar sesuai dengan asas keadilan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis, seperti termaktub dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD-NRI 1945? Pertanyaan ini amat serius untuk dipertimbangkan oleh para wakil rakyat kita yang memiliki visi Indonesia yang lebih baik dan demokratis.

Setelah kita baca tulisan di atas dan mungkin berbagai refrensi lainnya tentang Politik dinasti pada pilkada, silahkan mengambil pendapat dan kesimpulan masing-masing.

Semoga Pilkada serentak tahun 2018 berjalan aman, lancar, demokratis, clean dan clear bebas money politik sehingga dihasilkan Kepala daerah yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Semoga !

Susno duadji
——————
~ Ketua Umum TP Sriwijaya,
~ Ketua Komite Pemantau Pengawas Pertanian Indonesia,
~ Penasehat Syarekat Dagang – SI

Facebook Comments

Related Articles

Back to top button