Diduga Ada Gratifikasi, Kejaksaan Negeri Sumenep Akan di Laporkan ke Kejaksaan Agung RI
Komeringonline, Jakarta – Dugaan Jaksa Pentuntu Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jawa Timur Terima Gratifikasi tercium, lantaran oknum tersebut terkesan merubah arah perkara Pidana ke perkara Perdata.
” seperti kita ketahui bersama, istilah P19 merupakan kode dalam berkas perkara yang menunjukkan bahwa berkas perkara dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi, atau kurang memenuhi unsur pidananya, nah ini yang muncul kesan yang negatif dalam prosesnyq “, ungkap Endiyono Raharjo, Praktisi Hukum.
Endiyono Raharjo menjelasakan bahwa perkara tersebut menyangkut perkara pidana, yaitu ‘Pengrusakan Tanamam’ (Bibit Padi), sesuai Pasal yang mengatur pengrusakan tanaman yang dilakukan bersama-sama adalah Pasal 170 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 406 KUHPidana. Ancaman hukuman untuk kasus ini adalah penjara paling lama 5 tahun 6 bulan. Yang menurutnya sesuai Pasal 406 KUHP, mengatur tentang tindak pidana pengrusakan barang milik orang lain, yaitu:
• Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum
• Menghancurkan, merusakkan, membuat tidak dapat dipakai, atau menghilangkan barang
• Barang tersebut seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain.
Kejadian berawal dari bibit padi di lahan milik H.Nawawi warga Desa Badur Kec. Batuputih Kab.Sumenep Madura Jawa Timur, yang dirusak dengan cara bibit padi di lahan sawah ditimbun tumpukan batuputih oleh 5 orang perangkat desa Badur pada 27 April 2024.
Untuk diketahui lahan seluas 1.249 m2, Kohir 294, Persil IV, Klas 089 yang terletak di desa Badur dibeli H. Nawawi dari Misbah, seharga Rp.96 juta pada tahun 2020 hingga saat kejadian dipergunakan sebagai lahan pertanian.
Hal tersebut dibuktikan dengan Surat Jual Beli Tanah tertanggal 03 Mei 2020 yang diketahui dan dibenarkan oleh Kepala Desa Badur sebelumnya, serta bukti Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Sebidang Tanah, tertanggal 13 Oktober 2020 dan diketahui oleh Kepala Desa Badur.
Selanjutnya dari laporan korban (H.Nawawi) ke Polres Sumenep ditindak lanjuti sesuai prosedur penyidikan, dimulai dari pemeriksaan pelapor, saksi-saksi dan bukti-bukti hingga penyidik menjerat 5 orang tersangka sesuai pasal pengrusakan yaitu Pasal 170 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 406 KUHPidana dan dilakukan Penahanan.
Dalam perjalanan penyidikan 5 orang tersangka sempat melakukan upaya praperadilan di PN Sumenep atas status tersangka mereka, dengan hasil akhir putusan Hakim Pengadilan Negeri Sumenep Dimenangkan Penyidik Polres Sumenep.(kesimpulan putusan hakim jelas menyatakan perkara tersebut pidana)
Setelah berkas dirasa lengkap oleh penyidik selanjutnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Sumenep dengan Jaksa Teddy Romius SH yang menangani perkara tersebut.
Kecurigaan atas gratifikasi terhadap Jaksa Teddy Romius SH dikala P19 yang dikembalikan pada penyidik.
Dalam petunjuknya Jaksa Teddy, meminta tambahan keterangan saksi yaitu Badan Pertanahan Nasional Sumenep (padahal status tanah belum bersertifikat), Dinas Pendapatan Kabupaten Sumenep ( terkait SPPT yang diklaim Kepala Desa saat ini lahan adalah tanah kas desa).(dalam petunjuk jelas mengarahkan penyidik bahwa perkara tersebut ke perdata, secara tidak langsung petunjuk jaksa yang tidak relevan untuk mengupayakan penghentian penyidikan)
Terkait status tanah kas desa (percaton) yang diklaim Kepala Desa yang masuk BAP dalam keterangannya, jelas tidak terkait dengan perkara pidana pengrusakan, dalam perkara ini bukan masalah klaim atas status tanah, akan tetapi penyidik dengan menjerat pelaku atas perbuatan pengrusakan tanaman milik korban.
Korban memiliki bukti konkrit atas lahan tersebut serta tanah sudah dikuasai secara perorangan dari tangan ke tangan dalam beberapa puluh tahun kebelakang, sedangkan bukti yang diklaim atas tanah sebagai tanah kas desa muncul pada tahun 2022, dengan hanya keterangan dari Dinas Pendapatan Daerah (SPPT). ( “Surat pemberitahuan pajak terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) bukan bukti kepemilikan hak tanah” ).
Analisa hukum terkait perkara tersebut, status tanah milik siapapun tidak menjadi objek dalam perkara tersebut, unsur pengrusakan dimana ada barang yang dirusak, ada korban dan ada pelaku jelas masuk perkara pidana, apalagi korban mempunyai bukti-bukti yang konkrit dan saksi-saksi, mulai dari korban sudah mengusai lahan sudah 4 tahun, saksi yang menggarap/mengolah tanah sawah dan saksi yang menanam benih padi serta saksi dari dinas pertanian yang menyatakan benar-benar benih padi milik korban yang dirusak.
STATEMENT PRAKTISI HUKUM
Apabila melihat dari kronologi peristiwa yang diatas kami berasumsi bahwa hal tersebut seharusnya tetap melihat adanya strafbaafeit (tindak pidana) yang dilakukan oleh 5 orang tersangka sesuai pasal pengrusakan yaitu Pasal 170 ayat (1) KUHPidana jo Pasal 406 KUHPidana, hal tersebut sesuai dengan dasar di korban yang melaporkan atas kerugian yang didapat atas pengrusakan tanaman padi yang sudah ditanam korban kemudian melalui STPL (Surat Tanda Penerimaan Laporan) No. STTLP/B/141/VI/2024/SPKT/POLRES SUMENEP/POLDA JAWA TIMUR, dan sudah dilakukan dengan adanya proses penyelidikan dan penyidikan dengan bukti adanya SP2HP :
• Pertama, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) No. B/199/SP2HP-1/V/2024/Satreskrimpada tanggal 02 Mei 2024;
• Kedua, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) No. B/221/SP2HP-2/V/2024/Satreskrimpada tanggal 14 Mei 2024;
• Ketiga, Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyelidikan (SP2HP) No. B/408/SP2HP-3/VII/2024/Satreskrimpada tanggal 22 Juli 2024
Bahwa dengan adanya proses yang sudah dilakukan oleh pihak Kepolisian Resort Sumenep setidaknya dilakukan sesuai dengan SOP yang benar.
Apabila adanya proses Law Enforcement dalam menegakkan Supremacy of law, dan menjalankan dasar equality before the law dan tidak melanggar due process of law, setidaknya hal tersebut sudah dijadikan adanya fundamental jaksa dalam menyikapi adanya upaya P-18 dari pihak kepolisian dan tidak memunculkan P-19 yang dinyatakan oleh JPU untuk melengkapi meminta tambahan
“ kami ketahui bersama, bahwa keterangan saksi ahli yaitu Badan Pertanahan Nasional Sumenep (padahal status tanah belum bersertifikat), Dinas Pendapatan Kabupaten Sumenep ( terkait SPPT yang diklaim Kepala Desa saat ini lahan adalah tanah kas desa)”. Singgungnya.
Hal ini sebenarnya tidak perlu dilakukan karena perbuatan (actus reus). 5 pelaku kejahatan pengrusakan tanaman padi yang sudah ditanam korban dikorelasikan dengan status tanah hak kepemilikan, karena sama sekali tidak ada hubungannya, hal ini mengacu pada Pasal 5 Undang-Undang No.5 Tahun 1960 (UUPA) berlaku AZAS PEMISAHAN HORISONTAL, yakni menurut Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S. dan Zaki Sierrad S.H., C.N., M.H., dalam bukunya Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasinya (hal. 69) menjelaskan bahwa asas pemisahan horizontal diadopsi dari hukum adat yang menyatakan bahwa:
Penguasaan dan pemilikan tanah tidak meliputi penguasaan dan pemilikan benda-benda di atas tanah (bangunan, tanaman, benda bernilai ekonomis lainnya).
Jadi pemilik tanah, tidak otomatis menjadi pemilik benda-benda yang terdapat di atasnya.
Berlakunya asas pemisahan horizontal juga sejalan dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2239 K/SIP/1982, dalam kaidah hukumnya menyatakan:
Menurut UUPA Pasal 5, bagi tanah berlaku hukum adat, hal mana berarti rumah dapat diperjualbelikan terpisah dari tanah (pemisahan horizontal).
Kaidah Hukum :
Kaidah hukum yang terkait dengan perusakan pagar adalah sebagai berikut:
a. Bahwa pelanggaran terhadap hukum pidana seperti merusak tanaman padi yang sengaja ditanam sebagai tanda bukti diatas tanah tetap harus ditindak sekalipun ada upaya perdatanya;
b. Bahwa antara perbuatan 5 pelaku pengrusakan tanaman padi tetap tidak ada korelasi yang signifikan dengan status tanah, karena ini hubungan nya dengan perbuatan (actus reus)
Jadi dengan adanya putusan MARI Nomor 1044 K/PID/2013 tanggal 08 Januari 2014 dapat menjadi semacam guidencebahwa pelanggaran terhadap hukum pidana tetap harus ditindak karena tidak ada korelasi dengan status kepemilikan hak atas tanah sehingga perbuatan merusak seluruh atau sebagaian milik orang lain adalah tetap merupakan tindak pidana melanggar Pasal 170 dan Pasal 406 KUHPidana.
” dari kajian kami diatas, seharusnya progres hukum sudah sangat terang benderang, bukan malah ada upaya ‘oknum’ dengan kepentingan tertentu, mau me-rekontruksi ulang BAP penyidik, substansi hukum jangan dibuat mainan, meski ini persoalan lokal, semoga Kejaksaan Agung RI dan Presiden. Prabowo berkenan mencurahkan sedikit waktunya, demi tegaknya supremasi hukum di Indonesia “, harap Endiyono Raharjo, SH.MH.